Komisi I Harapkan TVRI dan RRI Terdepan Edukasi Masyarakat
Komisi I DPR RI ingin mendalami mengenai kebijakan program siaran LPP RRI dan LPP TVRI di tengah menjamurnya industri penyiaran swasta yang lebih cenderung pada program-program hiburan dan sering kali juga kurang edukatif.
“Kita ingin RRI dan TVRI ini justru menjadi media terdepan dalam mengedukasi masyarakat memberikan informasi yang sehat,” kata ketua Komisi I Mahfudz Siddiq, di sela Rapat Komisi I dengan LPP TVRI dan LPP RRI, (6/10/2015), di Gedung DPR, Jakarta.
Mahfudz memaparkan yang diskusikan, seperti apa cara mereka merevitalisasi diri dari sisi program siarannya, dan apa yang kira apa yang bisa disinergikan antara RRI dan TVRI. Namun persoalannya RRI dan TVRI sudah lama tertinggal, secara organisasi, SDM, maupun teknologi. Sehingga kita lihat ini semakin ditinggalkan, walaupun ada upaya-upaya inovasi mereka (TV Swasta nasional).
Yang diinginkan walaupun media televisi banyak, tapi TVRI masih tetap menjadi media yang diminati masyarakat, dan kalau bandingan dengan negara lain, banyak TV publik dan Radio publik yang populer di masyarakat. Seperti NHK, BBC, kalau mereka bisa kenapa kita disini nggak. Itu yang sedang kita diskusikan.
“Tidak bermaksud ingin memperbandingkan antara TVRI dengan media swasta, tetapi yang paling penting bagaimana TVRI, itu punya audien share yang besar di masyarakat. Kalau dulu siapa yang tidak bangga pada TVRI, siapa yang gak nonton TVRI,” tuturnya.
Menurutnya, TVRI maupun RRI, menyadari betul diperlukan ada perubahan paradigma, perubahan budaya korporasi, bekerja out of the box. Anggaran negara diberikan Rp.900 milyar per tahun, bagi TV swasta itu angka yang sangat besar.
“Mereka kan birokrat, mesin birokrasi yang bergerak. Jangan fikiran-fikiran dulu, jaman sudah berubah. Mereka sudah menyadari itu. Kita akan diskusikan paradigma apa, budaya baru seperti apa, bekerja yang out the box yang bagaimana, sehingga mereka bisa menjadi lebih baik. Karena resourses-nya luar biasa. Kalau mereka bisa, kenapa yang ini enggak ?,” ungkapnya. (as) Foto: Naefuroji/parle/hr